×
العربية english francais русский Deutsch فارسى اندونيسي اردو

Permintaan Formulir Fatwa

Captcha yang salah

Fatwa / Puasa / Mengqadha Puasa Asyura

Views:2223
- Aa +

Apakah orang yang membatalkan puasa Asyura disebabkan safar harus mengqadha puasanya?

قضاء صيام عاشوراء

Menjawab

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta alam. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para shahabatnya. Amma ba'du:
Dengan memohon taufik kepada Allah Ta'ala kami akan menjawab pertanyaanmu, kami katakan:
Puasa ‘Asyura dan ‘Arafah di waktu safar, para ulama memiliki dua pendapat; di antara mereka ada yang berpendapat bahwa jika seseorang mampu melaksanakannya, maka seyogyanya dia tidak meninggalkan puasa di dua hari itu; karena keutamaan kedua hari itu bisa terluputkan. Apabila sunnah-sunnah itu terluputkan, maka waktunya pun terlewatkan dan tidak disyariatkan untuk diqadha. Apabila dia telah terluputkan, maka waktunya pun terlewatkan; karena keutamaannya berkaitan dengan hari, sehingga hari yang lain tidak dapat menggantikan posisinya.
Di antara mereka ada juga yang berpendapat bahwa dia tidak perlu berpuasa karena keumuman firman Allah Azza wa Jalla tentang puasa yang diwajibkan:﴿فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ﴾ [البقرة:184]
Artinya: "Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184).
Akan tetapi disini tidak ada hari-hari lain untuk mengqadhanya. Maksudnya, apabila dia terluputkan, maka dia tidak bisa mengqadha puasa Asyura karena keutamaannya berkaitan dengan hari. Sehingga mereka berpendapat bahwa puasa Asyura itu gugur baginya dan dia tetap mendapatkan pahala dan tidak disyariatkan untuk mengqadhanya. Mereka berkata, "Karena di dalam Shahih Al-Bukhari telah diriwayatkan dari hadits Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:"إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُهُ صَحِيْحاً مُقِيْماً."
"Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala amal perbuatan yang biasa dia kerjakan dalam keadaan sehat dan bermukim."
Hadits itu menunjukkan bahwa dia tetap akan diberi pahala dengan setiap amal perbuatan yang biasa dia kerjakan pada waktu dia bermukim. Di antaranya adalah puasanya. Apabila dia biasa berpuasa di waktu bermukim, maka dia tidak perlu puasa di waktu safar.
Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran untuk memperoleh keutamaan adalah, apabila seorang musafir tidak merasa kesulitan untuk berpuasa, maka seyogyanya dia tidak meninggalkan puasa itu. Inilah pendapat yang dianut oleh sekelompok ulama. Sedangkan seorang musafir yang meninggalkan puasa dan dia biasa berpuasa di saat bermukim, maka saya berharap agar dia tetap mendapatkan pahalanya.



×

Apakah Anda benar-benar ingin menghapus item yang sudah Anda kunjungi?

Ya, Hapus