×
العربية english francais русский Deutsch فارسى اندونيسي اردو

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

الأعضاء الكرام ! اكتمل اليوم نصاب استقبال الفتاوى.

وغدا إن شاء الله تعالى في تمام السادسة صباحا يتم استقبال الفتاوى الجديدة.

ويمكنكم البحث في قسم الفتوى عما تريد الجواب عنه أو الاتصال المباشر

على الشيخ أ.د خالد المصلح على هذا الرقم 00966505147004

من الساعة العاشرة صباحا إلى الواحدة ظهرا 

بارك الله فيكم

إدارة موقع أ.د خالد المصلح

/ / Apa hukum puasa seorang musafir di zaman modern padahal tidak ada lagi kesulitan?

مشاركة هذه الفقرة WhatsApp Messenger LinkedIn Facebook Twitter Pinterest AddThis

Apa hukum puasa seorang musafir di zaman modern padahal tidak ada lagi kesulitan? ما حكم صوم المسافر في العصر الحديث مع عدم وجود المشقة؟

المشاهدات:1906

Apa hukum puasa seorang musafir di zaman modern padahal tidak ada lagi kesulitan?

ما حكم صوم المسافر في العصر الحديث مع عدم وجود المشقة؟

الجواب

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabb semesta alam. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para shahabatnya. Amma ba'du:

Dengan memohon taufik kepada Allah Ta'ala kami akan menjawab pertanyaanmu, kami katakan:

Allah Azza wa Jalla menjadikan safar di antara rukhsah yang memubahkan untuk membatal-kan puasa, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh beberapa ayat:

﴿وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ﴾ [البقرة:185]

Artinya: "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu." (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat yang lain:

﴿فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ﴾ [البقرة:184]

Artinya: "Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184). Jadi safar termasuk di antara rukhsah dan keluasan yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada para hamba-Nya. Dalilnya adalah hadits Amr bin Hamzah Al-Aslami Radhiyallahu Anhu, bahwasanya dia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sering bersafar dan aku masih mampu untuk berpuasa. Apakah aku boleh berpuasa?" Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

"هي رخصة أرخصها لعباده، فمن أخذ بها فحسن، ومن لا فلا جناح عليه."

"Itu adalah rukhsah yang diberikan Allah Ta'ala kepada para hamba-Nya. Barangsiapa yang menerimanya, maka itu baik; dan barangsiapa yang tidak menerimanya, maka dia tidaklah berdosa." Itu menunjukkan bahwa tidak berpuasa ketika safar adalah rukhsah sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan hadits di atas.

Namun, bagaimana safar yang memubahkan untuk tidak berpuasa? Para ulama berpendapat, safar yang memubahkan untuk tidak berpuasa adalah safar yang memubahkan qashar shalat. Jadi mereka mengembalikan permasalahan safar yang memubahkan untuk tidak berpuasa kepada permasalahan qashar shalat, karena itulah asal usul rukhsah berkaitan dengan seorang musafir. Allah Ta'ala berfirman:

﴿وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا﴾ [النساء:101]

Artinya: "Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir." (QS. An-Nisa`: 101). Hukum asal rukhsah pada apa yang berkaitan dengan musafir adalah qashar shalat. Sedangkan puasa dikiaskan dengannya. Jadi, setiap yang memubahkan qashar shalat, dia pun memubahkan berbuka bagi orang yang puasa.Namun apakah rukhsah itu bersifat mutlak, baik sulit berpuasa ataupun tidak? Dengan berkembangnya sarana transportasi safar tidak lagi menjadi sulit. Sebenarnya itu adalah perkara nisbi (relatif). Safar, bagaimana pun sarana transportasi dan fasilitas yang disediakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dia tidaklah keluar dari sifat yang diberikan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:

«السفر قطعة من العذاب»

"Safar adalah potongan dari adzab." Akan tetapi tingkatannyaberbeda-beda. Tidak diragukan bahwa safar di zaman ini tidak seperti safar di atas unta dan safar di atas mobil tidak seperti safar di atas unta, dan begitu seterusnya. Sarana-sarana transportasi yang berbeda-beda itu digunakan oleh orang-orang di dalam safar-safar mereka.

Dalam safar dimubahkan untuk tidak berpuasa karena ada praduga kuat terjadi kesulitan. Itu berarti bahwa keberadaan safar dapat memubahkan berbuka meskipun tidak ada kesulitan. Karena apabila suatu hukum dikaitkan dengan adanya praduga sesuatu, maka dia tetap berlaku padanya secara mutlak, baik ada kesulitan maupun tidak. Misalnya, tidur. Para ulama menganggap bahwa tidur dapat membatalkan wudhu. Tidak ada perbedaan apakah diyakini bahwa telah terjadi suatu hadats pada tidur itu atau tidak terjadi sesuatu pun. Melainkan jika itu adalah tidur yang indera benar-benar hilang padanya, maka dia wajib mengulang wudhu meskipun dia yakin bahwa tidak ada sesuatu pun hadats yang terjadi padanya.

Intinya, yang dimaksud adalah bahwa safar termasuk di antara sebab-sebab yang dapat memu-bahkan berbuka bagi orang yang puasa. Akan tetapi itu tidak berkaitan dengan kesulitan, melainkan itu adalah rukhsah, baik puasa itu sulit ataupun tidak. Sebagaimana yang telah diriwayatkan di dalam hadits Amr bin Hamzah Al-Aslami Radhiyallahu Anhu, dimana dia berkata, "Aku memiliki kekuatan untuk berpuasa." Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Itu adalah rukhsah. Barangsiapa yang memanfaatkannya, maka itu baik. Namun barangsiapa yang ingin berpuasa, maka tidak mengapa."

Hal itu menuntun kita kepada suatu permasalahan, yaitu mana yang lebih afdhal bagi musafir, berbuka atau berpuasa? Ini termasuk di antara permasalahan-permasalahan yang diperselisih-kan oleh para ulama Rahimahumullah. Ada beberapa pendapat. Di antara mereka berpendapat bahwa musafir boleh memilih. Di antara mereka berpendapat, jika puasa sulit baginya maka berbuka lebih baik. Di antara mereka berpendapat, berbuka lebih baik secara mutlak, baik ada kesulitan ataupun tidak. Semua itu adalah pendapat; dan masing-masing mereka bersandar kepada dalil. Bahkan di antara para ulama ada yang berpendapat wajib berbuka bagi musafir bersandarkan kepada apa yang telah diriwayatkan dalam kitab Ash-Shahih dari hadits Jabir Radhiyallahu Anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menyifati orang-orang yang terus berpuasa padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya telah berbuka dengan sabdanya, "Mereka adalah orang-orang durhaka. Mereka adalah orang-orang durhaka." Begitu juga apa yang diriwayatkan di dalam hadits Ibnu Umar dan Jabir Radhiyallahu Anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

«ليس من البرِّ الصوم في السفر»

"Tidak termasuk kebajikan berpuasa di saat safar."

«وليس الصيام من البر في السفر»

"Tidaklah puasa termasuk dari kebajikan di saat safar." Itu semua menunjukkan kepada kita bahwa pada permasalahan ini terdapat beberapa nash yang diperselisihkan. Di antara mereka ada yang mengambil nash ini; dan di antara mereka ada yang mengambil nash itu.

Pendapat yang paling dekat kepada kebenaran dan paling menggabungkan nash-nash adalah bahwa berbuka adalah rukhsah. Adapun yang berkaitan dengan keutamaan, maka keutamaan itu berbeda-beda dengan perbedaan kondisi manusia. Barangsiapa yang kesulitan berpuasa, maka berbuka lebih afdhal baginya karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

«ليس من البرِّ الصوم في السفر»

"Tidak termasuk kebajikan berpuasa di saat safar." Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda di dalam hadits Anas Radhiyallahu Anhu:

«ذهب المفطرون اليوم بالأجر»،

"Orang-orang yang berbuka pada hari ini pergi membawa pahala." Juga beliau bersabda, "Mereka adalah orang-orang durhaka."

Adapun jika seseorang kuat berpuasa dan tidak merasa kesulitan, lalu dia tidak berbuka bukan karena zuhud terhadap rukhsah Allah Ta'ala, melainkan karena ingin memperoleh keutamaan waktu, karena ingin melepaskan tanggungannya dengan segera, karena ingin menyaksikan bulan itu dan mempuasakannyabersama orang-orang, dan karena sebab lainnya yang berbeda-beda dengan perbedaan kondisi manusia. Jika keadaannya adalah demikian, maka puasa lebih afdhal baginya. Itulah yang dianut oleh jumhur ulama bersandarkan kepada hadits yang telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau berpuasa di saat safar. Pada hadits itu disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar bersama para shahabatnya. Lalu beliau dan Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu Anhu berpuasa di panas yang menyengat. Sampai-sampai seorang shahabat berkata, "Kami tidak memiliki suatu yang dapat digunakan untuk berteduh kecuali telapak tangan kami. Orang yang memiliki teduhan paling luas di antara kami adalah pemilik kain." Maknanya adalah bahwa mereka benar-benar merasakan panas yang menyengat dan tidak ada yang dapat mereka gunakan untuk melindungi diri dari panas itu. Sehingga mereka pun berbuka dan tidak ada di antara mereka yang puasa kecuali Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu Anhu.

Di dalam hadits Abu Sa'id, Anas, dan Jabir Radhiyallahu Anhum, mereka semua berkata, "Kami keluar safar bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa dan di antara kami ada yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka. Orang yang berbukan pun tidak mencela orang yang berpuasa." Itu menunjukkan bahwa permasalahan ini luas; dan sesungguhnya seseorang harus melihat mana yang lebih ringan dan lebih mudah bagi dirinya.

Lalu safar apa yang memubahkan untuk berbuka? Apakah itu hanya berlaku di saat perjalanan atau sepanjang waktu safar sampaipun telah tiba di tempat yang dituju? Qashar dan berbuka -dan keduanya adalah rukhsah dalam safar- berlaku bagi seorang musafir sejak dia keluar dari negerinya sampai dia kembali. Maksudnya adalah bahwa safar tidak hanya melihat waktu perjalanan saja. Melainkan safar adalah setiap waktu yang dihabiskan oleh seorang musafir sejak dia keluar sampai dia kembali. Jadi, apabila seseorang safar ke Riyadh -misalnya- dan menetap disana beberapa waktu, maka keberadaannya selama dia menetap di Riyadh adalah safar. Itu juga kembali kepada permasalahan lainnya, yaitu permasalahan; apakah ada waktu tertentu untuk safar atau tidak? Akan tetapi jika kita perkirakan bahwa dia akan menetap dua atau tiga hari, atau lain sebagainya, maka dia tetap sebagai musafir sampai dia kembali.

See more at: http://www.almosleh.com/ar/index-ar-show-16784.html#sthash.Wo2g3uII.dpuf


الاكثر مشاهدة

1. جماع الزوجة في الحمام ( عدد المشاهدات127316 )
6. مداعبة أرداف الزوجة ( عدد المشاهدات62456 )
9. حكم قراءة مواضيع جنسية ( عدد المشاهدات58507 )
11. حکم نزدیکی با همسر از راه مقعد؛ ( عدد المشاهدات55640 )
12. لذت جویی از باسن همسر؛ ( عدد المشاهدات55145 )
13. ما الفرق بين محرَّم ولا يجوز؟ ( عدد المشاهدات51732 )
14. الزواج من متحول جنسيًّا ( عدد المشاهدات49864 )
15. حكم استعمال الفكس للصائم ( عدد المشاهدات44151 )

مواد تم زيارتها

التعليقات


×

هل ترغب فعلا بحذف المواد التي تمت زيارتها ؟؟

نعم؛ حذف